Asal mula bahasa pada
spesies manusia telah
menjadi topik perdebatan para ahli selama beberapa abad. Walaupun begitu, tidak
ada kesepakatan umum mengenai kapan dan umur bahasa manusia
secara pasti. Salah satu permasalahan yang membuat topik ini sangat sulit
dikaji adalah kurangnya bukti langsung. Akibatnya, para ahli yang ingin
meneliti asal mula bahasa harus menarik kesimpulan berdasarkan bukti-bukti lain
seperti catatan-catatan fosil atau bukti-bukti
arkeologis, dari keberagamanan bahasa kontemporer, dari kajian akuisisi
bahasa, dan dari perbandingan antara bahasa manusia dengan sistemkomunikasi
hewan, terutama sistem
komunikasi primata lain. Secara umum ada kesepakatan bahwa asal mula
bahasa manusia berkaitan erat dengan asal usul perilaku manusia modern, namun perbedaan
pendapat terjadi mengenai implikasi-implikasi dan keterarahan hubungan
keduanya.
Langkanya bukti
empiris membuat banyak ahli menganggap topik ini tidak dapat dijadikan
kajian penting. Pada tahun 1866, Société de Linguistique de Paris bahkan
melarang perdebatan mengenainya. Larangan tersebut tetap berpengaruh di banyak
negara barat hingga akhir abad ke-20. Sekarang, ada banyak hipotesis
mengenai bagaimana, kenapa, kapan dan di mana bahasa mungkin pertama kali
muncul. Tampaknya tidak begitu banyak kesepakatan pada saat sekarang
dibandingkan seratus tahun lalu, saat teori
evolusi Charles Darwin lewat seleksi
alam-nya menimbulkan banyak spekulasi mengenai topik ini. Sejak awal
1990-an, sejumlah ahli bahasa, arkeologis, psikologis, antropolog,
dan ilmuwan profesional lainnya telah mencoba untuk menelaah dengan metoda baru
apa yang mereka mulai pertimbangkan sebagai permasalahan tersulit dalam
sains.
Daftar isi
Pendekatan-pendekatan
Pendekatan
terhadap asal mula bahasa dapat dibagi berdasarkan asumsi dasarnya. "Teori
Keberlanjutan" yaitu berdasarkan ide bahwa bahasa sangat kompleks sehingga
tidak dapat dibayangkan ia timbul begitu saja dari ketiadaan menjadi bentuk
akhir seperti sekarang: ia pastinya berkembang dari sistem pra-linguistik awal
di antara leluhur primata kita. "Teori Ketakberlanjutan" yaitu
berdasarkan ide yang berlawanan -- bahwa bahasa adalah suatu sifat sangat unik
sehingga tidak dapat dibandingkan dengan apapun yang ditemukan pada spesies
selain manusia dan oleh karena ia pasti muncul secara tiba-tiba selama
perjalanan evolusi manusia. Perbedaan lainnya yaitu antara teori yang melihat
bahasa sebagai bawaan lahir yang ter-sandi secara genetis, dan mereka yang
melihatnya sebagai sebuah sistem yang secara umum kultural -- dipelajari lewat
interaksi sosial.
Noam
Chomsky adalah pendukung utama teori ketakberlanjutan. "Pandangan
Noam Chomsky terhadap sifat dasar dari Tatabahasa Universal (TU, tatabahasa
universal lahiriah) telah lama menjadi dominan dalam bidang linguistik, tapi TU
sendiri telah mengalami perubahan besar dari dekade ke dekade"
(Christiansen, 59). Dia berargumen bahwa sebuah peluang mutasi terjadi pada
salah satu individu dalam rentang 100.000 tahun yang lalu, mengakibatkan
munculnya kemampuan bahasa (sebuah komponen dalam otak) secara "instan"
dalam bentuk yang "sempurna" atau "hampir-sempurna".
Argumentasi secara filosofinya berbunyi sebagai berikut: pertama, dari apa yang
diketahui mengenai evolusi, setiap perubahan biologis dalam suatu spesies
timbul dari perubahan genetis secara acak pada satu individu, yang menyebar
dalam satu kelompok peranakan. Kedua, dari perspektif komputasi dalam teori
bahasa: satu-satunya perubahan yang dibutuhkan adalah kemampuan kognitif untuk
membentuk dan memproses struktur data rekursif dalam pikiran (properti dari
"diskrit tak-terbatas", yang muncul hanya unik pada
manusia). Chomsky beralasan bahwa perubahan genetis ini, yang memberikan otak
manusia suatu properti diskrit tak-terbatas, secara esensial merupakan loncatan
yang menyebabkan dapat menghitung dari bilangan N, dengan N adalah bilangan
pasti, sampai mampu menghitung sampai bilangan tak-terbatas (misalnya, jika N
dapat dibentuk begitu juga N+1). Dari pernyataan di atas bahwa evolusi
kemampuan bahasa pada manusia adalah saltasi karena,
secara logika, tidak mungkin ada transisi secara bertingkat dari otak yang
mampu menghitung pada bilangan tertentu, menjadi otak yang mampu berpikir
mengenai ketak-terbatasan. Gambarannya, dengan analogi sederhana, adalah bahwa
formasi kemampuan berbahasa pada manusia adalah serupa dengan formasi kristal;
diskrit tak-terbatas merupakan bibit kristal dalam otak super primata, yang
mendekati perkembangan menjadi otak manusia, oleh hukum fisika, saat sebuah
batu kecil, tapi sangat penting, dilanjutkan oleh evolusi.
Teori
keberlanjutan sekarang dipegang oleh mayoritas ilmuwan, tapi mereka berbeda
dalam melihat dalam pengembangannya. Diantaranya yang melihat bahasa sebagai
bawaan lahir, beberapa -- yang terkenal yaitu Steven
Pinker menghindari berspekulasi mengenai pelopor bahasa pada primata
non-manusia, menekankan secara sederhana bahwa kemampuan bahasa harusnya
berevolusi secara bertahap.Yang lainnya pada kelompok intelektual yang sama --
yang terkenal yaitu Ib Ulbæk menganggap bahwa bahasa berkembang tidak dari
komunikasi primata tapi dari kesadaran primata, yang jauh lebih kompleks. Bagi
mereka yang melihat bahasa sebagai alat komunikasi yang dipelajari secara
sosial, seperti Michael Tomasello,
melihat perkembangan bahasa dari aspek komunikasi primata, hal ini lebih kepada
komunikasi secara isyarat daripada secara vokal. Bila prekursor vokal
diperhatikan, banyak pendukung teori keberlanjutan membayangkan bahasa
berkembang dari kemampuan manusia purba dalam bernyanyi.
Melampaui
pembagian keberlanjutan-lawan-ketakberlanjutan adalah mereka yang melihat
munculnya bahasa sebagai konsekuensi dari suatu bentuk transformasi
sosial yang, dengan menghasilkan tingkat kepecayaan umum yang belum pernah
terjadi sebelumnya, melepaskan potensi genetik untuk kreativitas linguistik
yang sebelumnya dibiarkan tertidur. 'Teori koevolusi ritual/bicara'
adalah sebuah contoh dari pendekatan ini. Ilmuwan-ilmuwan dalam kelompok
intelektual ini menunjuk kepada fakta bahwa bahkan simpanse dan bonobo memiliki
kemampuan terpendam yang, dalam lingkungan liar, jarang dipergunakan. [21] Argumennya
adalah jika suatu mutasi yang akan muncul secara tiba-tiba membolehkan
kemampuan bahasa pada suatu individu primata, mutasi tersebut tidak akan
menganugerahkan keuntungan adaptif kecuali sistem sosial secara radikal
berubah. Suatu struktur sosial yang sangat spesifik -- sebuah struktur yang
dapat dengan luar biasa menjunjung tinggi akuntabilitas dan kepercayaan publik
-- haruslah berkembang sebelum atau bersamaan dengan bahasa supaya
ketergantungan pada 'sinyal murahan' (perkataan) menjadi sebuah strategi stabil
evolusioner.
Karena munculnya
bahasa terjadi begitu jauh dalam pra-sejarah manusia, perkembangan yang terkait
tidak meninggalkan jejak sejarah langsung; dan tidak ada proses pembandingan
yang dapat dilakukan pada masa sekarang. Oleh karena itu, munculnya bahasa
isyarat pada masa modern -- Bahasa Isyarat Nikaragua, misalnya --
mungkin berpotensi memperlihatkan gambaran tingkat-tingkat perkembangan dan
proses kreatif yang terlibat. Pendekatan lainnya yaitu dengan meneliti fosil
manusia awal, melihat kemungkinan adanya jejak adaptasi fisik terhadap
penggunaan bahasa. Pada beberapa kasus, saat DNA dari manusia yang telah punah
dapat dipulihkan, ada atau absen-nya gen yang seharusnya berkaitan dengan
bahasa -- FOXP2 sebagai contohnya -- mungkin dapat memberikan informasi lebih
lanjut. Pendekatan lainnya, kali ini secara arkeologis, adalah dengan membawa
perilaku simbolis (seperti aktivitas ritual) yang mungkin berpotensial
meninggalkan jejak secara arkeologis -- seperti pengumpulan dan modifikasi dari
pigmen ochre yang digunakan untuk melukis badan -- dapat membangun argumentasi
teoretis untuk memberikan kesimpulan dari simbolism secara umum kepada bahasa
secara khusus.
Rentang waktu bagi
evolusi bahasa dan/atau prasyarat anatomis terjadi, paling tidak secara dasar,
sejak perpisahan filogenetik pada Homo (2,3 sampai
2,4 juta tahun lalu) dari Pan (5
sampai 6 juta tahun lalu) sampai munculnya perilaku modernitas sekitar 150.000 -
50.000 tahun lalu. Beberapa orang membantah
bahwa Australopithecus kemungkinan tidak memiliki sistem komunikasi
yang lebih canggih dari pada Kera Besar secara umum, tetapi para ahli memiliki
opini yang berbeda-beda terhadap perkembangan sejak munculnya Homo sekitar 2,5
juta tahun yang lalu. Beberapa ahli mengasumsikan perkembangan sistem
mirip-bahasa primitif (proto-bahasa) sama awalnya dengan Homo
habilis, sementara ahli lainnya menempatkan perkembangan komunikasi simbol
primitif hanya dengan Homo erectus(1,8 juta tahun yang lalu) atau Homo heidelbergensis (0,6 juta tahun yang
lalu) dan perkembangan bahasa pada Homo
sapiens kurang dari 200.000 tahun lampau.
Dengan menggunakan
metode statistik untuk memperkirakan waktu yang dibutuhkan untuk mengetahui
persebaran dan perbedaan pada bahasa modern saat sekarang, Johanna Nichols --
seorang ahli bahasa dari Universitas California, Berkeley -- memberikan argumen
pada tahun 1998 bahwa bahasa vokal pastinya telah berdiversifikasi pada spesies
kita paling tidak sekitar 100.000 tahun lalu. Menggunakan keberagaman
fonemis, sebuah analisis terbaru memberikan dukungan linguistik langsung
terhadap waktu yang sama. Perkiraan semacam ini secara independen didukung oleh
genetis, arkeologis, paleontologi dan banyak bukti lainnya menyarankan bahwa
bahasa mungkin muncul di suatu tempat di sub-Sahara Afrika selama zaman batu
pertengahan, kira-kira sezaman dengan perkembangan spesiesHomo sapiens.
Para ahli bahasa
sekarang setuju bahwa, selain dari pijin, tidak ada
bahasa "primitif": semua populasi manusia modern berbicara bahasa
yang hampir sama kompleks dan ekspresif, walau penelitian terbaru telah
mengeksplorasi bagaimana kompleksitas linguistik bervariasi antara dan dalam
suatu bahasa selama perjalanan sejarah. Hal ini adalah perdebatan serius
dalam linguistik kontemporer, mendapat tantangan sampai awal abad ke 21
(Everett 2005). Konsensus sekarang bahwa tidak ada bahasa modern yang primitif
adalah perubahan terbesar dalam pendekatan linguistik terhadap bahasa.
Hipotesis
asal mula bahasa
Spekulasi awal
Saya tidak dapat
meragukan bahwa bahasa berasal dari imitasi dan modifikasi, dibantu oleh
isyarat dan gerakan, terhadap berbagai suara alam, suara binatang lainnya, dan
teriakan naluriah manusia sendiri.
—Charles Darwin,
1871. The Descent of Man, and Selection in Relation to Sex.
Pada tahun 1861,
ahli sejarah bahasa Max Müller menerbitkan daftar spekulatif teori tentang asal
mula bahasa
Bow-wow.
Teori bow-wow atau cuckoo, yang Muller
atribusikan kepada filsuf Jerman Johann Gottfried Herder, menganggap
kata-kata bermula sebagai imitasi dari teriakan hewan-hewan liar atau burung.
Pooh-pooh.
Teori Pooh-Pooh menganggap kata-kata
pertama sebagai teriakan dan interjeksi emosional dipicu oleh rasa
sakit, senang, terkejut, dan lainnya.
Ding-dong. Müller
menyarankan apa yang dia sebut dengan teori Ding-Dong, yang menyatakan
bahwa semua mahluk memiliki sebuah getaran resonansi alami, digemakan oleh
manusia dalam perkataan awalnya dengan suatu cara.
Yo-he-ho.
Teoriyo-he-ho meyakini bahasa muncul dari kegiatan kerja sama yang
teratur, usaha untuk sinkronisasi otot menghasilkan suatu suara yang 'menghela'
bergantian dengan suara seperti ho.
Ta-ta. Teori ini
tidak ada dalam daftar Max Müller, tapi diajukan oleh Sir Richard Paget pada
tahun 1930. Menurut teori ta-ta, manusia membuat perkataan pertama
dengan menggerakan lidah yang meniru gerakan manual, membuatnya terdengar
bersuara.
Banyak ilmuwan
saat ini menganggap semua teori tersebut tidak begitu banyak yang salah --
adakalanya mereka menawarkan wawasan -- seperti naif komikal dan tidak
relevan. Permasalahannya dengan teori tersebut yaitu mereka hampir
mekanistik. Mereka mengasumsikan bahwa sekali leluhur kita menyadari kejeniusan mekanisme untuk
menghubungkan suara dengan makna, bahasa secara otomatis berkembang dan
berubah.
Permasalahan
reliabilitas dan kecurangan
Dari perspektif
ilmu modern Darwin, rintangan utama dari evolusi komunikasi mirip-bahasa di
alam bukanlah mekanisme. Melainkan, fakta bahwa simbol-simbol -- asosiasi acak
antara suara, atau suatu bentuk yang tampak, dengan maknanya -- adalah tidak
dapat diandalkan dan bisa saja salah. Seperti peribahasa, 'Berbicara
itu gampang'. Permasalahan reliabilitas tidak dikenali oleh Darwin,
Müller atau oleh ahli teori evolusi awal.
Sinyal vokal hewan
pada umumnya secara intrinsik dapat diandalkan. Pada saat seekor kucing
mendengkur, sinyal tersebut menandakan bukti langsung bahwa hewan berada pada
keadaan senang. Kita dapat 'percaya' kepada sinyal tersebut bukan karena kucing
itu jujur, tetapi karena suara itu tidak dapat dipalsukan. Seruan vokal primata
bisa saja lebih dapat dimanipulasi, tetapi mereka tetap dapat diandalkan untuk
beberapa alasan -- karena mereka susah untuk dipalsukan. Intelijensi
sosial primata disebut Machiavellian -- melayani diri sendiri dan
tidak dibatasi oleh moral. Monyet dan kera terkadang mencoba menipu satu sama
lain, sementara pada saat bersamaan tetap berjaga-jaga agar tidak menjadi
korban dari penipuan itu sendiri. Paradoksnya, justru resistensi dari primata
terhadap penipuan menghambat evolusi sistem sinyal mereka bersama dengan
komunikasi yang mirip-bahasa. Bahasa ditolak karena cara terbaik untuk mencegah
dari tertipu adalah dengan mengabaikan semua sinyal kecuali yang
reliabilitasnya dapat diperiksa langsung. Berbicara secara otomatis gagal dalam
tes ini.
Kata-kata sangat
mudah dipalsukan. Jika kata-kata berbentuk kebohongan, pendengar akan
beradaptasi dengan mengabaikan mereka sehingga menguntungkan isyarat atau
petunjuk yang lebih sulit di palsukan. Supaya bahasa dapat bekerja, pendengar
haruslah yakin bahwa pembicara yang mereka ajak berbicara secara umum cenderung
berkata jujur. Fitur tidak biasa pada bahasa adalah 'referensi terlantar', yang berarti
referensi terhadap topik di luar situasi yang sekarang dialami. Properti ini
mencegah ucapan-ucapan menjadi suatu kebenaran 'di sini' dan 'sekarang' secara
langsung. Karena alasan tersebut, bahasa mengasumsikan tingkat saling percaya
yang tinggi supaya menjadi terbentuk sepanjang waktu sebagai suatu strategi stabil evolusioner. Stabilitas
ini lahir dari saling percaya dalam waktu lama dan yang menunjang penguasaan
bahasa. Teori dari asal mula bahasa harus menjelaskan kenapa manusia dapat
mulai mempercayai isyarat-isyarat lemah dengan suatu cara sementara binatang
lain tidak bisa (lihat teori
pensinyalan).
Hipotesis
'bahasa ibu'
Hipotesis 'bahasa
ibu' diajukan pada tahun 2004 sebagai solusi yang mungkin dari masalah
ini. [46] W. Tecumseh Fitch menyatakan
bahwa prinsip 'seleksi saudara' ketertarikan konvergensi genetis antar
kerabat -- bisa jadi merupakan bagian dari jawaban. Fitch menyarankan bahwa
bahasa bermula dari 'bahasa ibu'. Jika bahasa berevolusi pada awalnya untuk
komunikasi antara ibu dan keturunan biologisnya sendiri, yang berkembang lebih
lanjut dan mengikutkan kerabat dewasa juga, ketertarikan antara pembicara dan
pendengar pastinya merupakan suatu kebetulan. Fitch beralasan bahwa
ketertarikan genetis yang sama menyebabkan kepercayaan dan kerjasama yang cukup
untuk sinyal yang secara intrinsik tidak dapat dipercaya -- perkataan -- supaya
dapat diterima sebagai sesuatu yang terpercaya dan mulai berkembang untuk
pertama kalinya.
Kritik terhadap
teori ini menunjuk pada seleksi kerabat tidak hanya unik pada manusia. Ibu kera
juga berbagi gen dengan turunannya, sebagaimana binatang lainnya, lalu kenapa
hanya manusia yang berbicara? Lebih lanjut, sangat sulit untuk dipercaya bahwa
manusia awal membatasi komunikasi linguistik hanya pada saudara genetis: tabu
mengenai incest pasti
memaksa laki dan wanita berinteraksi dan berkomunikasi dengan yang bukan
saudara. " Spesies terkadang bergantung pada bentuk komunikasi verbal dan
non-verbal, seperti teriakan; suara luapan emosi non-vokal, seperti kipasan
ekor lumba-lumba pada air;bioluminescence; penandaan bau; petunjuk kimia atau
taktil; sinyal visual dan gestur tubuh" (Toothman). Jadi, walaupun kita
menerima premis pertama Fitch, penyebab dari hubungan 'bahasa ibu' dari kerabat
kepada non-kerabat tetap tidak dapat dijelaskan. Fitch beralasan,
bagaimanapun juga, periode panjang dari kematangan fisik pada anak manusia, dan
perkembangan extrauterine pada ensefalisasi manusia
memberikan hubungan manusia-anak sebuah periode kebergantungan inter-generasi
yang berbeda dan lebih lama dari pada yang ditemukan pada spesies lain.
Hipotesis
'altruisme timbal balik wajib
Ib
Ulbæk menyebutkan prinsip Darwinian lain -- 'altruisme
timbal-balik' untuk menjelaskan tingkat kejujuran tinggi yang diperlukan
oleh bahasa untuk berkembang. 'Altruisme timbal-balik' dapat diekspresikan
sebagai prinsip yang jika kamu menggaruk punggung saya, saya akan
menggaruk punggungmu juga. Dalam istilah linguistik, ia dapat berarti jika
kamu berkata jujur pada saya, saya akan jujur juga padamu. Ulbæk
menunjukkan bahwa altruisme timbal-balik Darwin umumnya adalah sebuah hubungan
yang terjalin antara interaksi individu-individu yang sering terjadi. Supaya
bahasa menguasai seluruh komunitas, bagaimanapun juga, suatu pertukaran
diperlukan secara paksa secara universal tidak hanya dibiarkan sebagai pilihan
individu. Ulbæk menyimpulkan bahwa supaya bahasa dapat berkembang, masyarakat
awal secara keseluruhan pastinya merupakan subjek dari regulasi moral. Evolusi
dari altruisme timbal-balik, dan permasalahan dilema
tahanan dikaitkan dengan permasalahan penumpang gratis dan
penipuan, telah digunakan untuk menjelaskan cepatnya peningkatan ensefalisasi dihubungkan
dengan transisi dari Australopithecus sampai Homo sapien purba.
Kritik menunjukkan
bahwa teori ini gagal menjelaskan kapan, bagaimana, kenapa atau oleh siapa
'altruisme timbal balik wajib' dapat mungkin ditegakkan. Berbagai proposal
telah diajukan untuk memperbaiki kekurangan ini. Kritikan lebih lanjut adalah
bahwa bahasa tidak bekerja berdasarkan altruisme timbal-balik. Manusia dalam
percakapan grup tidak menyimpan semua informasi kecuali pendengar mau memberikan
informasi berharga sebagai balasan. Secara berlawanan, mereka tampak ingin
menampilkan kepada dunia akses mereka terhadap informasi yang berhubungan
secara sosial, menyebarkannya kepada siapa saja yang mau mendengarkan tanpa
menginginkan kembalian.
Hipotesis gosip
dan perawatan[sunting | sunting sumber]
Gosip,
menurut Robin Dunbar, dilakukan
kelompok manusia sedangkan merawat berlaku pada primata lainnya -- ia
membolehkan individu untuk melayani hubungan mereka dan menjaga persekutuan
mereka dengan prinsip dasar, Jika kamu menggaruk punggung saya, saya akan
menggaruk punggungmu juga. Saat manusia mulai hidup di grup sosial yang
semakin besar, pekerjaan merawat semua teman dan kenalan menjadi memakan waktu
dan tidak terjangkau. Merespon permasalahan ini, manusia menciptakan 'perawatan
yang murah dan sangat efisien' -- perawatan vokal. Untuk membuat teman
bahagia, sekarang anda cukup 'merawat' mereka dengan suara vokal yang rendah,
melayani sejumlah sekutu secara bersamaan sementara membuat kedua tangan bebas
untuk pekerjaan lainnya. Perawatan vokal kemudian berkembang secara bertahap
menjadi bahasa vokal -- awalnya dalam bentuk 'gosip'.
Kritik terhadap
teori ini menunjuk pada efisiensi dari 'perawatan vokal' -- fakta bahwa bicara
itu gampang -- akan merusak kapasitasnya untuk mensinyalkan sejenis komitmen
yang disampaikan dengan perawatan manual yang berharga dan memakan waktu.
Kritikan lebih lanjut adalah bahwa teori ini tidak menjelaskan transisi krusial
dari perawatan vokal -- produksi suara yang menenangkan tapi tidak berarti --
ke kompleksitas kognitif dari berbicara secara sintaks. Kritik ini
mengasumsikan bahwa dari perawatan vokal ke bahasa vokal terdapat beberapa
langkah kompleks. Kritik sebelumnya juga tampak mengasumsikan tidak begitu
terlihatnya superiotas dari perawatan fisik terhadap perawatan vokal dengan
kata lain ia memiliki kekurangan berupa kapasitas yang sama terhadap komitmen
pensinyalan. Sebagai contohnya, penelitian yang telah memperlihatkan kedekatan
seorang anak terhadap suara ibunya bisa menyarankan bahwa perawatan manual
tidak memiliki keuntungan hirarki tetap lebih dari perawatan vokal.
Koevolusi
ritual/bicara[sunting | sunting sumber]
Teori koevolusi
ritual/bicara awalnya diajukan oleh antropolog sosial Roy Rappaport sebelum
diuraikan oleh antropolog seperti Chris Knight, Jerome
Lewis, Nick Enfield, Camilla Power dan Ian Watts.
Ilmuwan kognitif dan insiyur robotik Luc Steels adalah pendukung
penting dari pendekatan ini, seperti juga antropologis/neurosains
biologis Terrence Deacon.
Ilmuwan tersebut
beralasan bahwa tidak ada yang namanya 'teori asal mula bahasa'. Hal ini
dikarenakan bahasa bukanlah sebuah adaptasi terpisah tapi sebuah aspek internal
yang lebih luas -- dinamakan, kultur
simbolis manusia secara keseluruhan. Para ilmuwan tersebut mengatakan
bahwa mencoba menjelaskan bahasa secara independen dalam konteks yang luas ini
gagal karena mereka menangani masalah tanpa solusi. Bisakah kita membayangkan
seorang ahli sejarah mencoba menjelaskan munculnya kartu kredit secara
tersendiri dalam sistem yang luas sementara ia adalah sebuah bagian?
Menggunakan kartu kredit masuk akal jika anda memiliki rekening bank yang
secara institusional dikenal dalam suatu masyarakat kapitalis maju -- suatu
sistem dengan teknologi komunikasi elektronik, komputer digital, dan pencegahan
penggelapan. Dalam hal yang sama, bahasa tidak akan bekerja di luar susunan
institusi dan mekanisme sosial. Sebagai contohnya, ia tidak akan bekerja bagi
seekor kera yang berkomunikasi dengan kera lain di dunia liar. Bahkan kera
tercerdas pun tak dapat membuat bahasa bekerja dalam bawah kondisi tersebut.
Kebohongan dan
jenis-jenisnya, diturunkan dalam bahasa ... memberikan permasalahan terhadap
masyarakat yang stukturnya dibangun oleh bahasa, yang dinamakan semua
masyarakat manusia. Oleh karena itu saya beralasan bahwa jika semua kata itu
ada maka diperlukan membentuk Firman, dan bahwa Firman dibentuk oleh
persamaan liturgi.
—Roy Rappaport,
1979. Ecology, Meaning and Religion, pp. 210-11.
Pendukung
pemikiran ini merujuk bahwa berbicara itu gampang. Seperti halusinasi digital,
mereka secara intrinsik tidak dapat diandalkan. Jika kera sangat pandai, atau
bahkan satu kelompok kera pandai, mencoba untuk menggunakan kata-kata di alam
liar, mereka tidak akan membawa suatu keyakinan. Vokalisasi primata
yang memang membawa keyakinan -- yaitu yang mereka benar-benar
gunakan -- tidak seperti perkataan, mereka diekspresikan secara emosional,
bermakna secara intrinsik dan dapat dipercaya karena mereka relatif berharga
dan sulit dipalsukan.
Bahasa terdiri
dari kontras digital yang harganya secara esensial nol. Sebagai konvensi sosial
murni, sinyal jenis ini tidak dapat berkembang dalam dunia sosial Darwinian --
secara teori, ia adalah sebuah ketidakmungkinan. Karena tidak dapat
dipercaya secara intrinsik, bahasa bekerja hanya jika anda dapat membuat suatu
reputasi untuk dapat dipercaya dalam suatu bentuk masyarakat -- dinamakan juga,
salah satu tempat fakta-fakta kultural simbolis (terkadang disebut dengan
'fakta institusional') dapat dibangun dan dijaga lewat dukungan kolektif
sosial. Dalam masyarakat pemburu-pengumpul, mekanisme dasar untuk membangun
kepercayaan dalam fakta kultural simbolis adalah ritual bersama. Oleh
karena itu, pekerjaan yang dihadapi para peneliti dalam asal mula bahasa adalah
lebih ke multidisiplin daripada biasanya. Ia berhubungan dengan melihat
perkembangan timbulnya kultur simbolis manusia secara keseluruhan, dengan
bahasa sebagai salah satu yang utama tapi komponen tambahan.
Kritik mengenai
teori ini dari Noam Chomsky, yang menamainya dengan hipotesis 'ketak-adaan' --
sebuah penolakan dari keberadaan bahasa sebagi suatu objek kajian bagi ilmu
alam. Teori Chomsky sendiri adalah bahwa bahasa muncul secara instan dan
dalam bentuk sempurna, mendorong kritiknya sebagai jawaban bahwa hanya
sesuatu yang tidak ada -- sebuah konstruksi teoritis atau fiksi sosial yang
mudah -- yang dapat muncul secara ajaib. Kontroversi masih tetap belum
terselesaikan.
Hipotesis
Menara Babel
Telah disarankan
bahwa bahasa mungkin saja berkembang sebagian untuk menutup komunikasi, untuk
mengatur supaya suku sendiri terpisah dari terkontaminasi yang lain. Hal
ini berkaitan denganparadoks pembicara-kode, kisah Menara
Babel, dan tidak bertentangan dengan bahasa-ibu, perawatan dalam suku, dan
hipotesis pencegahan inses yang dijelaskan di atas.
Teori Jestural
Teori jestural
menyatakan bahwa bahasa manusia berkembang dari jestur yang
digunakan sebagai komunikasi sederhana.
Dua tipe bukti
mendukung teori ini.
Bahasa isyarat dan
bahasa lisan bergantung pada sistem saraf yang sama. Bagian pada korteks yang bertanggung jawab terhadap
pergerakan mulut dan tangan.
Primata selain
manusia menggunakan jestur atau simbol setidaknya untuk komunikasi primitif,
dan beberapa dari jestur tersebut mirip dengan yang digunakan pada manusia,
seperti "postur meminta", dengan tangan direntangkan, yang manusia
memiliki kesamaan dengan simpanse.
Penelitian telah
menemukan bukti kuat untuk ide bahwa bahasa lisan dan
bahasa isyarat bergantung pada struktur saraf yang sama. Pasien yang
menggunakan bahasa isyarat, dan yang menderita left-hemisphere lesion, memperlihatkan gangguan
yang sama dengan bahasa isyarat sebagaimana pasien vokal dengan bahasa oralnya.
Peneliti lain menemukan bagian left-hemisphere otak yang aktif saat
melakukan bahasa isyarat sama dengan saat menggunakan bahasa vokal atau
tulisan.
Pertanyaan penting
untuk teori jestural yaitu kenapa terjadi peralihan ke penggunaan vokalisasi.
Terdapat tiga penjelasan yang memungkinkan:
Nenek moyang kita
mulai menggunakan alat yang lebih banyak, artinya kedua tangan mereka sedang
digunakan dan tidak dapat digunakan untuk melakukan jestur.
Penggunaan jestur
manual membutuhkan dua invidu yang berkomunikasi dapat melihat satu sama lain.
Pada banyak situasi, mereka butuh berkomunikasi, bahkan tanpa kontak visual --
misalnya saat malam hari atau saat dedaunan menghalangi pemandangan.
Berdasarkan
hipotesis gabungan, bahasa awal menggunakan bagian jestur dan bagian
vokal mimemis (meniru
'lagu-dan-tarian'), menggabungkan modalitas-modalitas karena semua sinyal
(seperti pada para kera dan monyet) masih diperlukan untuk berbiaya supaya
secara intrinsik meyakinkan. Oleh sebab itu, setiap penampilan multi-media
diperlukan tidak hanya untuk menghilangkan ambigu dari arti sebenarnya tapi
juga untuk menginspirasi kepercayaan dalam realibilitas sinyal. Hal ini
menunjukkan bahwa hanya saat pemahaman komunitas muncul maka secara otomatis
diasumsikan kepercayaan dalam upaya komunikatif, paling tidak
membolehkan Homo sapiens berpindah ke format standar yang lebih efisien.
Karena fitur perbedaan vokal (kontras suara) cocok untuk tujuan ini, maka hanya
pada titik tersebut -- saat bahasa tubuh yang secara intrinsik persuasif tidak
lagi dibutuhkan untuk menyampaikan setiap pesan -- bahwa pemilihan perpindahan
dari manual jestur ke bahasaucapan terjadi.
Manusia masih
menggunakan tangan dan jestur wajah saat berbicara, terutama saat seseorang
bertemu dengan orang lain yang berbeda bahasa. Dan ada juga, sudah pasti,
sejumlah bahasa isyarat yang masih ada, biasanya
berkaitan dengan komunitas tuli; penting juga diketahui bahwa bahasa isyarat memiliki
kompleksitas, kecanggihan, dan kekuatan ekspresif yang sama dengan bahasa lisan
yang ada -- fungsi kognitifnya sama dan bagian otak yang digunakan juga sama --
perbedaannya adalah "fonem" diproduksi oleh tubuh bagian luar,
diartikulasikan dengan tangan, badan, dan ekspresi muka, bukan dengan bagian
dalam tubuh yang diartikulasikan dengan lidah, gigi, bibir, dan pernapasan.
Kritik terhadap
teori jestural menyatakan bahwa sangat sulit untuk menyebutkan alasan serius
mengapa komunikasi vokal berbasis-nada (yang digunakan pada primata)
ditinggalkan demi komunikasi yang kurang efektif selain suara, komunikasi
jestural. Namun, Michael Corballis telah menunjukan bahwa komunikasi vokal
primata (seperti teriakan peringatan) tidak bisa dikontrol secara sadar, tidak
seperti gerakan tangan, dan maka ia tidak kredibel sebagai prekursor bagi
bahasa manusia; vokalisasi primata agak homolog dengan dan terus menerus dalam
refleks yang disengaja (terhubung dengan dasar emosi manusia) seperti teriakan atau
tawa (fakta bahwa hal tersebut dapat dipalsukan tidak membantah fakta bahwa
respons asli tak-sengaja saat takut atau terkejut tetap ada). Juga, jestur
bukannya secara umum kurang efektif, dan bergantung pada situasi bisa jadi
menguntungkan, sebagai contohnya dalam suatu lingkungan yang bising atau saat
perlu untuk diam, seperti saat berburu. Tantangan lain untuk teori
"jestur-lebih-dahulu" telah dikemukakan oleh peneliti dalam psikolinguistik,
termasuk David McNeill.
Saraf
cermin dan asal mula bahasa
Pada manusia,
penelitian fungsi MRI telah melaporkan menemukan wilayah yang sama dengan
sistem saraf cermin pada monyet di korteks bagian depan bawah, dekat dengan
wilayah Borca, salah satu yang dihipotesiskan sebagai wilayah bahasa pada otak.
Hal ini memberikan petunjuk bahwa bahasa manusia berkembang dari sebuah sistem
pemahaman isyarat yang tertanam di saraf cermin. Saraf-saraf cermin dikatakan
memiliki potensi untuk menyediakan suatu mekanisme untuk memahami tindakan,
belajar meniru, dan menyimulasikan perilaku orang lain. Hipotesis ini didukung
oleh beberapa homologisitoarkitektonik antara
wilayah premotor monyet F5 dan wilayah Broca pada manusia. Laju
ekspansi kosa
kata terkait dengan kemampuan anak untuk meniru
suara bukan-kata dan juga dalam mempelajari pengucapan kata baru. Hal
seperti pengulangan bicara terjadi
secara otomatis, cepat dan secara terpisah pada otak untuk persepsi bicara. Lebih
lanjut imitasi suara tersebut dapat terjadi tanpa pemahaman seperti dalam pembayangan bicara dan echolalia.
Bukti lebih lanjut
dari keterkaitan ini datang dari penelitian terbaru, dengan mengukur aktivitas
otak dari dua peserta menggunakan fMRI saat mereka melakukan isyarat kata-kata
antara satu sama lain menggunakan isyarat tangan melalui suatu permainan tebak kata -- sebuah
modalitas yang beberapa ahli menyarankan mungkin merepresentasikan prekursor
secara evolusi dari bahasa manusia. Analisis data menggunakan Kausalitas Granger memperlihatkan
bahwa sistem saraf cermin dari pengamat memang merefleksikan pola dari
aktivitas dari aktivitas di dalam sistem motor si pengirim, mendukung ide bahwa
konsep motor berhubungan dengan kata-kata memang ditransmisikan dari satu otak
ke otak lain menggunakan sistem cermin.
Perlu diketahui
bahwa sistem saraf cermin tampak pada dasarnya tidak memadai untuk memainkan
peran dalam sintaks,
selama properti penting bahasa manusia yang diterapkan dalam struktur rekursif
hierarkis ini diratakan menjadi urutan linier fonem-fonem yang membuat struktur
rekursif tidak dapat diakses oleh deteksi sensoris.
Teori
menaruh anak di bawah
Menurut teori
'menaruh anak di bawah'-nya Dean Falk, interaksi vokal
antara ibu hominin awal dengan anaknya memunculkan perkataan awal leluhur
kita. Ide dasarnya adalah ibu manusia yang berevolusi, tidak seperti
monyet dan kera, tidak dapat berpindah tempat dan mencari makanan saat anaknya
menggantung di belakang mereka. Hilangnya bulu pada kasus manusia menyebabkan
anak bukan berarti tidak mau menggantung. Seringkali, karenanya, si ibu harus
menaruh bayi mereka di bawah. Hasilnya, bayi-bayi tersebut harus diyakinkan
bahwa mereka tidak diacuhkan. Si ibu merespon dengan mengembangkan 'motherese'
-- sistem komunikasi langsung kepada bayi yang menekankan ekspresi wajah,
bahasa tubuh, menyentuh, menepuk, membelai, tertawa, menggelitik dan
teriakan-teriakan panggilan ekspresif secara emosional. Argumennya adalah bahwa
bahasa bisa saja berkembang karena hal-hal tersebut.
Kritik menyatakan
bahwa bila teori ini mungkin menjelaskan sejumlah jenis 'protobahasa' terhadap-bayi
- dikenal sekarang sebagai 'motherese' - ia hanya memberikan sedikit untuk
menjawab permasalahan yang lebih rumit, yaitu munculnya di antara orang dewasa
perkataan dengan sintaks.
Namun, dalam The
Mental and Social Life of Babies, psikolog Kenneth Kaye menulis
bahwa tidak ada bahasa yang digunakan sekarang dapat berkembang tanpa
komunikasi interaktif antara anak-anak muda dengan orang dewasa. "Tidak
ada sistem simbolik yang dapat bertahan dari satu generasi ke generasi
selanjutnya jika ia tidak dapat secara mudah ditangkap oleh anak-anak dalam
kondisi normal mereka pada kehidupan sosial."
Teori
Gramatisasi
'Gramatikalisasi' adalah
sebuah proses sejarah berkelanjutan ketika kata-kata yang berdiri sendiri
berkembang menjadi tambahan tata bahasa, sementara hal tersebut kemudian
menjadi lebih terspesialisasikan dan terstruktur. Yang awalnya berupa
penggunaan yang 'salah', menjadi diterima, mengarah ke konsekuensi yang tidak
terbayangkan, memicu efek terpukul dan memperpanjang seurutan perubahan. Secara
paradoks, tata bahasa berkembang karena, dalam analisis akhir, manusia lebih
peduli terhadap keterpahaman daripada keindahan tata bahasa. Jika ini
merupakan cara bagaimana tata bahasa berkembang sekarang, menurut aliran
pemikiran tersebut, kita dapat secara sah berpendapat prinsip yang sama bekerja
di antara leluhur jauh kita, saat tata bahasa itu sendiri untuk pertama kalinya
terbentuk.
Untuk
merekonstruksi ulang transisi evolusi dari awal bahasa ke bahasa dengan tata
bahasa kompleks, kita perlu mengetahui urutan hipotesis mana yang memungkinan
dan yang tidak memungkinkan. Untuk menyampaikan ide abstrak, jalan keluar
pertama dari pembicara adalah dengan kembali secara langsung pada gambaran
konkrit yang dikenali, sering kali mengembangkan metafora-metafora yang berakar
dalam pengalaman jasmani yang sama. Contoh yang lazim adalah penggunaan
istilah konkrit seperti 'perut' atau 'punggung' untuk menyampaikan makna
abstrak seperti 'di dalam' atau 'di belakang'. Hal yang sama secara metafora
adalah strategi dalam merepresentasikan pola sementara pada model spasial.
Makanya dalam konteks bahasa Inggris sering dikatakan 'It is going to rain',
dimodelkan dari 'I am going to London'. Kita bisa mempersingkat ini dalam
bahasa sehari-hari menjadi 'It's gonna rain'. Bahkan pada saat terburu-buru,
kita tidak mengatakan 'I'm gonna London' -- kontraksi terbatas pada waktu yang
menentukan pekerjaan. Dari contoh tersebut kita tidak melihat kenapa
gramatikalisasi secara konsistensi searah -- dari makna konkrit ke abstrak,
bukan sebaliknya.
Para pendukung
teori gramatikalisasi membayangkan bahasa awal sebagai sederhana, mungkin hanya
terdiri dari kata-kata benda. Bahkan dengan asumsi ekstrim tersebut,
bagaimanapun juga, sangat susah untuk membayangkan halangan kognitif apa
yang secara realistiknya mencegah orang dari menggunakan -- katakanlah --
'tombak' seakan-akan sebagai kata kerja, seperti yang digunakan dalam bahasa
Inggris ('Let's spear this pig!'). Terlepas dari keindahan tata bahasa yang
para ahli bahasa pahami, orang-orang di dunia nyata akan menggunakan kata benda
mereka sebagai kata kerja atau kata kerja sebagai kata benda saat dikehendaki.
Secara singkat, bila bahasa dengan kata-benda-saja mungkin tampak secara teori
memungkinkan, teori gramatikalisasi mengindikasikan bahwa ia tidak dapat tetap
konstan dalam keadaannya tersebut untuk waktu yang lama.
Kreativitas
mengendalikan perubahan tata bahasa. Pandangan ini mengasumsikan perilaku
tertentu pada pendengar. Bukannya menghukum penyimpangan dari penggunaan yang
seharusnya, pendengar harus memprioritaskan imajinasi membaca-pikiran. Kita
seharusnya tidak mengambil begitu saja sikap kognitif. Kreatifitas imajinasi --
mengindahkan tanda bahaya macan tutul saat tidak ada macan tutul, sebagai
contohnya -- bukanlah suatu perilaku yang mana monyet vervet akan hargai atau
menghukum. Kreatifitas dan reliabilitas adalah keinginan yang bertentangan;
bagi primata 'Machiavellian' sebagaimana pada hewan secara umumnya, tekanan
utamanya adalah untuk menunjukan reliabilitas. Jika manusia meninggalkan
batasan-batasan tersebut, itu karena pada kasus kita, para pendengar lebih
tertarik dengan keadaan mental.
Memusatkan
perhatian pada keadaan pikiran sama dengan menerima fiksi -- penghuni imajinasi
-- sebagai informasi yang potensial dan menarik. Contohnya adalah penggunaan
metafora. Secara harfiah, metafora adalah sebuah pernyataan yang
salah. Bayangkan pernyataan Romeo, 'Juliet adalah matahari!'. Juliet
adalah seorang wanita, bukanlah sebuah bola dari gas panas di angkasa, tapi
para pendengar (biasanya) tidak bersikeras terhadap kebenaran faktanya. Mereka
ingin mengetahui apa yang pembicara miliki dalam pikirannya. Gramatikalisasi
pada dasarnya berdasar pada metafora. Melarang penggunaannya akan menghambat
tata bahasa untuk berkembang dan meniadakan pengungkapan pemikiran abstrak.
Suatu kritikan
terhadap hal ini adalah bila teori gramatikalisasi mungkin menjelaskan
perubahan bahasa pada saat sekarang, ia tidak secara memuaskan menjawab
tantangan yang lebih rumit -- menjelaskan transisi awal dari komunikasi
gaya-primata ke bahasa yang kita ketahui sekarang. Tapi, teori tersebut
mengasumsikan bahwa bahasa telah ada. Seperti yang dibenarkan oleh Bernd Heine
dan Tania Kuteva:Gramatikalisasi membutuhkan sebuah sistem linguistik yang
sering digunakan dalam suatu komunitas pembicara dan disampaikan dari satu
kelompok pembicara ke yang lainnya. Di luar manusia modern, keadaan
tersebut tidak berlaku.
Teori
Kera yang dijinakkan
Menurut penelitian
yang menginvestigasi perbedaan suara antara white-rumped Munia dengan
bandingannya yang dikandangkan (Bengalese finch), munia liar
menggunakan urutan suara tinggi yang khas, sedangkan yang dipelihara
mengeluarkan suara tinggi yang terpaksa. Pada finch liar, sintaks dari suara
adalah supaya disukai oleh betina - seleksi seksual - dan secara relatif tidak
berubah. Namun, pada Bengalese finch, seleksi alam digantikan oleh proses
keturunan, dalam kasus ini untuk corak warna pada bulu, sehingga dipisahkan
dari tekanan selektif, sintaks suara yang khas dibiarkan menghilang. Ia
digantikan, selama 1000 generasi, oleh sebuah variabel and tahap-tahap
pembelajaran. Finch liar, lebih lanjut, tidak mampu mempelajari urutan suara
dari finch lainnya. Dalam bidang vokalisasi burung,
bagian otak yang menghasilkan hanya suara bawaan lahir memiliki jalur neural
yang sederhana: pusat forebrain motor utama, dikenal dengan robust nucleus
dari arcopallium, terhubung ke
bagian tengah penghasil vokal, yang memproyeksikan ke brainstem motor nuclei.
Secara berlawanan, bagian otak yang mampu mempelajari suara, arcopallium
menerima input dari sejumlah bagian otak-depan, termasuk dari bagian yang
terlibat dalam belajar dan pengalaman sosial. Kontrol dalam menghasilkan suara
menjadi kurang terbatas, lebih tersebar, dan lebih fleksibel.
Bila dibandingkan
dengan primata lain, yang sistem komunikasinya terbatas pada stereotip suara
teriak dan teriakan yang tinggi, manusia memiliki sangat sedikit vokalisasi
bawaan lahir, sebagai contoh tertawadan menangis. Lebih
lanjut, vokalisasi bawaan lahir ini dihasilkan oleh jalur neuronal yang
terbatas, dengan bahasa dihasilkan oleh sistem yang sangat tersebar mengikutkan
sejumlah wilayah pada otak manusia.
Fitur bahasa yang
menonjol adalah bila kemampuan berbahasa diturunkan, bahasa itu sendiri
ditransmisi lewat kultur. Yang ditransmisi lewat kultur juga pemahaman, seperti
teknologi dalam cara-cara melakukan sesuatu, yang dibungkus dalam penjelasan
berbasis bahasa. Karenanya seseorang akan mendapatkan lintasan evolusi yang
kuat antara kemampuan bahasa dan kultur: proto-manusia yang mampu menggunakan
bahasa pertama, dan diasumsikan belum sempurna, akan memiliki akses pemahaman
kultural yang lebih baik, dan pemahaman kultural, disampaikan dalam
proto-bahasa yang dapat dipahami oleh otak anak-anak, akan lebih mudah
ditrasmisikan, sehingga memberikan manfaat yang dapat diperoleh.
Karena itu
proto-manusia masih melaksanakan, dan terus melaksanakan, apa yang
disebut konstruksi niche, membuat niche kultural
yang menyediakan kunci pemahaman terhadap kelangsungan hidup, dan perubahan
evolusionari berkelanjutan yang mengoptimasi kemampuannya untuk menghiasi niche
tersebut. Tekanan seleksi yang beroperasi untuk menopang insting yang
dibutuhkan untuk bertahan hidup pada niche sebelumnya akan diharapkan mengendur
karena manusia menjadi bergantung kepada niche kultural yang dibuat sendiri,
selama inovasi-inovasi yang memfasilitasi adaptasi kultural -- dalam kasus ini,
inovasi dalam kompetensi bahasa -- akan lebih berkembang.
Salah satu cara
untuk memikirkan tentang evolusi manusia adalah kita ini seperti kera yang
dijinakkan. Seperti halnya penjinakkan mengendurkan seleksi untuk stereotip
suara pada burung finch -- pilihan pasangan digantikan dengan pilihan yang
dibuat oleh kepekaan estetis dari peternak burung dan kustomernya -- bisa saja
domestikasi dari kultural kita telah mengendurkan seleksi dalam banyak hal dari
sifat perilaku primata kita, menyebabkan jalur lama menjadi merosot dan
terbentuk ulang. Mempertimbangkan bahwa otak mamalia berkembang secara tidak
pasti -- otak berkembang secara "bottom up", dengan satu kelompok
interaksi neuronal mempersiapkan langkah untuk interaksi selanjutnya -- jalur
degradasi lebih condong untuk mencari dan menemukan kesempatan baru untuk
terhubung sinaptis. Perbedaan turunan dari jalur otak seperti itu bisa saja
berkontribusi pada kompleksitas fungsi yang mengkarakterisasikan bahasa
manusia. Dan, seperti yang terjadi pada burung finch, de-diferensiasi tersebut
dapat terjadi dalam waktu yang cepat.
Bicara
dan bahasa untuk komunikasi
Lihat pula: Komunikasi
hewan, Bahasa hewan, dan Asal mula bicara
Terdapat perbedaan
antara bicara dan bahasa. Bahasa
tidak harus selalu diucapkan: ia bisa saja tertulis atau diisyaratkan. Bicara
adalah salah satu metode diantara sejumlah metode berbeda dalam menterjemahkan
dan mentrasmisikan informasi linguistik, walaupun bisa dibilang yang paling
alami.
Beberapa ahli
memandang bahasa sebagai awal dari perkembangan kognitif,
ke-'ekternalisasi'-nya untuk melayai tujuan komunikatif yang terjadi kemudian
pada evolusi manusia. Menurut suatu aliran pemikiran, ciri penting yang
membedakan bahasa manusia adalah rekursi. dalam
konteks ini, proses berulang menanamkan kalimat di dalam kalimat. Ilmuwan lain
-- yang terkenal Daniel Everett --
menolak bahwa rekursi itu adalah universal, mengutip beberapa bahasa tertentu
(yaitu Pirahã) yang diduga memiliki
kekurangan fitur ini.
Beberapa ahli
menganggap bahwa kemampuan untuk mengajukan pertanyaan membedakan bahasa
manusia dari sistem komunikasi makhluk lain. Beberapa primata-primata
dalam kurungan (khususnyabonobo dan simpanse) yang
telah mempelajari menggunakan bahasa isyarat dasar untuk berkomunikasi dengan
pelatih manusia mereka mampu menanggapi pertanyaan dan permintaan yang kompleks
dengan benar, tetapi gagal untuk mengajukan sebuah pertanyaan yang sederhana.
Sebaliknya, anak manusia mampu menanyakan pertanyaannya untuk pertama kali
(hanya menggunakan intonasi pertanyaan) dalam periode mengoceh dari
perkembangan mereka, jauh sebelum mereka dapat menggunakan sintaks yang
terstruktur. Meskipun bayi-bayi dari kultur yang berbeda menyerap bahasa
aslinya dari lingkungan, semua bahasa di dunia tanpa kecuali -- tonal, non-tonal,
intonasi dan aksen -- menggunakan "intonasi tanya" yang sama
untuk pertanyaan ya-tidak. Fakta
ini adalah bukti kuat keuniversalan intonasi tanya.
Perkembangan
kognitif dan bahasa
Salah satu
kemampuan yang menarik yang dimiliki oleh pengguna bahasa adalah referensi
tingkat-tinggi, atau kemampuan untuk menunjuk ke benda atau keadaan sesuatu
yang tidak terjadi secara langsung bagi pembicara. Kemampuan ini terkadang
berhubungan kepada teori pikiran, atau sebuah kepedulian dari orang lain
sebagai mahluk hidup seperti dirinya dengan hasrat dan perhatian sendiri.
Menurut Chomsky, Hauser dan Fitch (2002), ada enam aspek dari sistem referensi
tingkat-tinggi:
Kapasitas untuk
mendapatkan representasi konseptual non-linguis, seperti perbedaan pada
objek/sifat
Mengenali sinyal
vokal
Imitasi sebagai
sistem yang rasional, bertujuan, sengaja.
Secara sukarela
mengatur produksi sinyal sebagai bukti dari komunikasi yang sengaja
Teori
pikiran
Artikel utama
untuk bagian ini adalah: Teori
pikiran
Simon Baron-Cohen (1999)
berargumen bahwa teori pikiran pasti mendahului penggunaan bahasa, berdasarkan
bukti penggunaan dari karakteristik-karakteristik berikut sekitar 40.000 tahun
yang lalu: komunikasi, perbaikan komunikasi yang gagal, mengajar, persuasi,
penipuan yang disengaja, membuat tujuan dan rencana bersama-sama, membagi fokus
atau topik secara sengaja, dan berpura-pura. Lebih lanjut, Baron-Cohen
berargumen bahwa banyak primata memiliki kemampuan ini, tetapi tidak semuanya.
Penelitian Call dan Tomasello terhadap simpanse mendukung argumen ini, dengan
seekor simpanse tampak memahami bahwa simpanse lain memiliki kepedulian,
pengetahuan, dan tujuan, tetapi tidak memahami penipuan. Banyak primata
memperlihatkan kecendrungan ke arah teori pikiran, tetapi tidak sepenuhnya sama
dengan yang dimiliki manusia. Secara keseluruhan, ada sejumlah konsensus bahwa
teori pikiran diperlukan untuk menggunakan bahasa. Maka, perkembangan dari
teori pikiran pada manusia diperlukan sebagai suatu prekursor penting untuk penggunaan
bahasa secara penuh.
Pengenalan pada Angka
Dalam satu
penelitian, tikus dan merpati dibutuhkan untuk menekan tombol beberapa kali
untuk mendapatkan makanan: binatang memperlihatkan akurasi perbedaan untuk
angka yang kecil dari empat, tapi setelah angka dinaikkan, tingkat error
meningkat (Chomsky, Hauser & Fitch, 2002). Matsuzawa (1985) mencoba
mengajari angka arab. Perbedaan antara primata dan manusia dalam hal ini
sangatlah besar, saat simpanse membutuhkan ribuan percobaan untuk mempelajarai
angka 1-9 dengan setiap angka membutuhkan waktu pelatihan yang hampir sama;
dan, setelah mempelajari makna dari 1, 2 dan 3 (dan terkadang 4), anak-anak
dengan mudah memahami nilai integer tertinggi dengan menggunakan fungsi turunan
(misalnya, 2 lebih besar dari 1, 3 adalah 1 angkat lebih besar dari 2, 4 lebih
besar 1 angka daripada 3; setelah mencapai angka 4 tampaknya hampir semua anak
memiliki "a-ha!" momen dan
memahami nilai semua integer n adalah lebih besar 1 dari angka
sebelumnya). Secara sederhana, primata lain belajar arti dari angka satu
persatu dengan menggunakan pendekatan yang sama dengan mengacu pada simbol
sementara anak-anak pertama cukup mempelajari daftar dari simbol (1,2,3,4...)
dan kemudian nantinya mereka akan mempelajari arti sebenarnya. Hasil ini dapat
dilihat sebagai bukti dari aplikasi dari "open-ended generative
property" dari bahasa dalam pengenalan angka pada manusia.
Struktur
Linguistik
Prinsip leksikal-fonologis
Hocket (1966)
memberikan daftar rincian fitur yang penting untuk menjelaskan bahasa manusia.
Dalam wilayah prinsip leksikal-fonologis, dua fitur dari daftar tersebut yang
sangat utama:
Produktifitas:
pengguna dapat membuat dan memahami pesan yang sangat asing.
Pesan baru secara
bebas diciptakan oleh pencampuran, menganalisa dari, atau merubah yang lama.
Tidak ada elemen
baru atau lama yang secara bebas menjadi semantik baru karena lingkungan dan
konteks. Hal ini mengatakan bahwa di setiap bahasa, idiom baru secara konstan
tercipta.
Dualitas (dalam
pola): sejumlah elemen yang memiliki arti adalah hasil ciptaan dari sejumlah
kecil elemen yang kurang berarti secara tersendiri dan berbeda-arti.
Sistem suara dari
bahasa terbentuk dari sejumlah item-item fonologi sederhana. Dengan
aturan fonotaktik suatu bahasa,
item-item tersebut dapat digabung ulang dan disatukan, melahirkan morfologi dan kosa kata terbuka. Fitur
kunci dari bahasa adalah sejumlah item-item fonologi yang terbatas dan
sederhana melahirkan sistem kosa kata yang tidak terbatas dengan aturan-aturan
yang menentukan bentuk dari setiap item, dan artinya terkait dengan bentuknya.
Sintak fonologi adalah kombinasi sederhana dari unit fonologi yang sudah ada.
Terkait dengan hal tersebut, fitur utama lain dari bahasa manusia adalah:
sintaksis leksikal (kosa kata), dengan unit yang sudah ada digabungkan,
menghasilkan item baru secara semantik (arti) atau berbeda secara kosa kata.
Beberapa elemen
dari prinsip leksikal-fonologis diketahui ada di luar manusia. Bila semua (atau
hampir kesemua) telah didokumentasikan dalam suatu bentuk dalam dunia alami,
hanya sedikit yang ada dalam satu spesies yang sama. Nyanyian burung, kera, dan
suara paus semuanya memperlihatkan sintak fonologi, gabungan unit suara menjadi
struktur besar tanpa meningkatkan atau memberi arti baru. Beberapa spesies
primata memiliki sistem fonologi sederhana dengan unit-unit menunjuk pada
beberapa entiti di dunia. Namun, perbedaannya dengan sistem manusia, unit-unit
pada sistem primata tersebut biasanya terjadi dalam isolasi. Ada sebuah bukti
baru yang menyatakan bahwa monyet Campbell juga memperlihatkan sintak leksikal,
menggabungkan dua teriakan (teriakan peringatan adanya predator dengan
"boom", sebuah gabungan yang menyatakan berkurangnya bahaya), namun
masih belum jelas apakah itu adalah leksikal atau fenomena morfologi.
Pijin dan
kreol
Artikel utama
untuk bagian ini adalah: Bahasa
kreol dan Bahasa pijin
Pijin adalah
bahasa yang secara signifikan disederhanakan dengan hanya tata-bahasa yang
belum sempurna dan kosa kata yang terbatas. Pada masa awal perkembangannya
pijin hanya terdiri dari kata benda, kata kerja, dan kata keterangan dengan
sedikit atau tanpa pasal, kata depan, kata penghubung atau kata bantu kerja.
Tata bahasanya tidak memiliki urutan kata dan
kata-katanya tidak ada nada suara.
Jika komunikasi
terjadi antara kelompok yang menggunakan pijin untuk waktu yang lama, pijin
akan menjadi komplek dalam beberapa generasi. Jika anak dalam satu generasi
menggunakan pijin sebagai bahasa natif maka ia akan berkembang menjadi bahasa
kreol, yang makin teratur dan menggunakan tata-bahasa yang lebih rumit,
dengan fonologi yang teratur, sintak, morfologi, dan penggunaan sintaktis.
Sintak dan morfologi dari bahasa itu bisa saja memiliki inovasi lokal sendiri
yang tidak diturunkan dari bahasa orang tuanya.
Penelitian terhadap
bahasa kreol diseluruh dunia telah menjelaskan bahwa mereka memiliki kesamaan
yang luar biasa dalam tata-bahasa dan berkembang secara seragam dari pijin
dalam satu generasi. Kesamaan ini jelas kelihatan walaupun kreol tidak memiliki
sumber yang sama. Sebagai tambahan, kreol memiliki kesamaan walaupun terbentuk
dalam isolasi yang berbeda satu dengan yang lain. Kesamaan sintaktermasuk
urutan kata dalam Subjek-Kata Kerja-Objek (SKO).
Bahkan bila kreol berasal dari bahasa dengan urutan kata yang berbeda mereka
sering berkembang menjadi urutan SKO. Kreol condong memiliki kesamaan pola
penggunaan untuk klausa yang pasti dan tak pasti, dan memiliki aturan perubahan
untuk struktur kalimat walaupun pada bahasa asalnya tidak ada.
Rentang
waktu evolusiner
Bahasa Primata
Bidang ahli
primatologi dapat memberikan kita gambaran mengenai cara Kera Besar berkomunikasi
di alam liar. Penemuan utamanya yaitu primata selain-manusia, termasuk kera
besar, menghasilkan suara-suara yang bergradasi dan tidak terdiferensiasi
secara kategoris, dengan pendengar berusaha untuk mengevaluasi gradasi halus di
bagian-bagian emosional dan keadaan tubuh dari si pemberi sinyal. Kera sangat
sulit menghasilkan vokalisasi tanpa adanya keadaan yang berkaitan dengan emosi.
Dalam penangkaran, kera telah diajarkan bentuk-bentuk dasar dari bahasa isyarat
dan telah dibujuk untuk menggunakan lexigram --
simbol-simbol yang secara grafis tidak menggambarkan kata -- pada papanketik
komputer. Beberapa kera, seperti Kanzi, telah belajar dan menggunakan
ratusan lexigram.
Area Broca dan Area
Wernicke pada otak primata bertanggung jawab untuk mengontrol otot
dari muka, lidah, mulut, dan laring, dan juga untuk mengenali suara. Primata
dikenal membuat "teriakan vokal", dan teriakan ini dibuat oleh
sirkuit dalam batang-otak dan sistem
limbik. Rupanya, pemindain modern pada otak pada simpanse yang sedang
mengoceh membuktikan bahwa mereka menggunakan area Broca untuk mengoceh. dan
ada bukti bahwa monyet-monyet yang mendengar monyet lain berceloteh menggunakan
wilayah otak yang sama seperti manusia mendengarkan pembicaraan.
Di alam liar,
komunikasi monyet vervet telah banyak dipelajari. Mereka
dikenal karena membuat sepuluh vokalisasi yang berbeda. Banyak darinya
digunakan untuk memperingati anggota dari grup apabila predator mendekat.
Mereka termasuk "teriakan leopard", "teriakan ular", dan
"teriakan elang". Setiap teriakan memicu strategi pertahanan yang
berbeda pada monyet yang mendengar teriakan tersebut dan ilmuwan dapat
memperoleh respon yang terprediksi dari monyet dengan menggunakan speaker dan
suara rekaman. Vokalisasi yang lain digunakan untuk identifikasi. Jika bayi
monyet berteriak, ibunya akan menoleh kepadanya, tapi ibu monyet vervet yang
lain menoleh ke ibu monyet tersebut untuk melihat apa yang akan dilakukannya.
Dengan cara yang
sama, para peneliti telah memperlihatkan bahwa simpanse (dalam penangkaran)
menggunaan "kata" yang berbeda untuk menunjuk pada makanan yang
berbeda. Mereka merekam vokalisasi yang dibuat oleh simpanse tersebut, sebagai
contoh, untuk anggur, dan simpanse yang lain akan menunjuk ke gambar anggur bila
dipedengarkan suara tersebut.
Awal-Homo
Mengenai
pengucapan, ada spekulasi yang patut dipertimbangkan mengenai kemampuan bahasa
dari awal-Homo (2,5 sampai 0,8 juta tahun yang lalu).
Secara anatomi, beberapa ahli percaya kemampuanbipedalisme,
yang berkembang dalam australopithecine sekitar
3,5 juta tahun lalu, telah membawa perubahan pada tengkorak, membuat sistem
vokal lebih banyak berbentuk L-nya. Bentuk dari trak dan laring yang terletak
dekat di bawah leher merupakan prasyarat penting bagi kebanyakan suara yang
dihasilkan manusia, terutama sekali pada huruf hidup.
Ilmuwan lain
percaya bahwa, berdasarkan posisi laring, Neanderthal tidak
memiliki anatomi yang dibutuhkan untuk menghasilkan suara secara penuh yang
dibuat oleh manusia modern. Sebelumnya diajukan bahwa perbedaan antara saluran
vokal Homo sapiens dan Neanderthal dapat dilihat pada fosil, tapi
penemuan tulang hyoid Neanderthal
(lihat di bawah) identik dengan yang ditemukan pada Homo sapiens, telah
melemahkan teori tersebut. Tetap saja ada yang berpendapat bahwa rendahnya
laring tidak mempengaruhi perkembangan kemampuan berbicara.
Istilah bahasa-purba,
yang didefinisikan oleh linguis Derek Bickerton, adalah
bentuk primitif dari komunikasi yang memiliki kekurangan:
sintaks yang
lengkap
kata penunjuk
waktu, aspek, kata kerja bantu, dll.
kosa kata
kelas-tertutup (misalnya, non-leksikal)
Sebuah tingkat
dalam evolusi bahasa berada di antara bahasa
kera besar dan bahasa manusia modern yang telah lengkap. Bickerton
(2009) menempatkan pertama munculnya bahasa-purba dengan
munculnyaHomo awal, dan menghubungkan kemunculannya dengan tekanan
adaptasi perilaku terhadap konstruksi
niche dari memulung yang dihadapi
oleh Homo habilis.
Fitur anatomis
seperti vokal huruf L berevolusi terus-menerus, tidak muncul tiba-tiba. Makanya
lebih memungkinkan bila Homo habilis dan Homo
erectus selama Lower Pleistocene memiliki
semacam bentuk komunikasi sederhana antara manusia modern dan primata
lainnya.
Homo
sapiens purba
Informasi
lebih lanjut: Homo sapiens purba
Steven Mithen mengusulkan
istilah Hmmmmm terhadap sistem komunikasi pra-linguistik yang
digunakan oleh Homo purba, dimulai dari Homo
ergaster dan mencapai tingkat tertinggi penggunaannya di masa Pleistosen Tengah pada Homo heidelbergensis dan Homo neanderthalensis. Hmmmmm adalah
akronim dari kata bahasa Inggris untuk holistic
(bukan-gabungan), manipulatif (ucapan merupakan perintah atau sugesti, bukan
penjelasan), multi-modal (akustik sebagaimana isyarat dan mimik), musical (bersifat
musik), dan mimetic.
Homo heidelbergensis
Lihat pula: Homo heidelbergensis: Bahasa
H.
heidelbergensis adalah kerabat dekat (kebanyakan mungkin karena turunan
dari bermigrasi) dari Homo ergaster. H. ergaster beberapa
peneliti percaya bahwa spesies ini sebagai hominid pertama yang dapat membuat
suara yang terkontrol, kemungkinan meniru vokalisasi hewan lain. dan H.
heidelbergensis mengembangkan kultur yang lebih rumit sejak dari titik
tersebut dan mungkin mengembangkan bentuk bahasa simbolik pertama.
Homo
neanderthalensis
Lihat pula: Perilaku Neanderthal:
Bahasa
Penemuan tulang hyoid Neanderthal
pada tahun 2007 menyatakan bahwa Neanderthal secara anatomis bisa saja
menghasilkan suara seperti manusia modern. Saraf hypoglossal, yang
dikirim lewat kanal, mengontrol pergerakan lidah dan ukurannya dikatakan
mempengaruhi kemampuan berbicara. Hominid yang hidup lebih dari 300,000 tahun
lalu memiliki kanal hypoglossal lebih mirip dengan simpanse daripada manusia.
Walaupun
Neanderthal memiliki anatomi yang memungkinkan untuk berbicara, Richard G. Klein pada
tahun 2004 meragukan bahwa mereka memiliki bahasa seperti bahasa modern.
Keraguan dia berdasarkan catatan fosil dari manusia purba dan peralatan
batunya. Sejak 2 juta tahun setelah munculnya Homo habilis, teknologi batu
dari hominid berubah sangat sedikit. Klein, yang telah bekerja lama dengan
alat-alat batu, menjelaskan alat batu yang kasar pada manusia purba membuatnya
tidak mungkin untuk dikelompokkan berdasarkan fungsinya, dan melaporkan bahwa
Neanderthal tidak begitu peduli bagaimana bentuk akhir dari alat-alat mereka.
Klein berargumen bahwa otak Neanderthal belum mencapai tingkat kompleksitas
untuk berbicara secara modern, walaupun komponen fisik untuk menghasilkan suara
telah berkembang. Isu mengenai tingkat kultur dan teknologi dari
Neanderthal masih menjadi salah satu kontroversi.
Homo
sapiens
Lihat pula: Manusia modern anatomis dan Perilaku modernitas
Anatomi manusia
modern pertama muncul dalam catatan fosil 195.000
tahun yang lalu di Ethiopia. Tapi walau modern secara anatomis, bukti arkeologi
yang ada meninggalkan hanya sedikit indikasi bahwa mereka berperilaku berbeda
dengan Homo heidelbergensis. Mereka memiliki alat
batu Acheulean yang sama dan
berburu sedikit efisien dari manusia modern Late Pleistocene. Transisi
ke yang lebih canggih Mousterian terjadi sekitar
120,000 tahun lalu, dan ini terjadi pada masa H. sapiens dan H.
neanderthalensis.
Perkembangan Perilaku modernitas pada H. sapiens,
yang tidak terjadi pada H. neanderthalensis atau
variasi Homo lainnya, berkisar antara 70.000 sampai 50.000 tahun yang
lalu.
Perkembangan alat
yang lebih canggih, pertama kalinya terbentuk lebih dari satu materi (contoh:
tulang atau tanduk) dan dapat dikelompokan dalam beberapa kategori dan fungsi
(seperti ujung proyektil, alat ukir, pisau, dan alat penggerekan dan tusuk)
dianggap sebagai bukti munculnya dan berkembangnya bahasa yang utuh,
diasumsikan karena ia dibutuhkan untuk mengajarkan proses manufaktur kepada
para turunannya.
Langkah terbesar[diragukan – diskusikan] dalam evolusi bahasa
adalah progres dari primitif, komunikasi seperti bahasa
pijin ke komunikasi berbentuk kreol dengan
tata-bahasa dan sintak seperti bahasa modern.
Beberapa ahli
percaya bahwa langkah ini hanya dapat terjadi karena perubahan biologis pada
otak, seperti mutasi. Juga dikatakan bahwa gen seperti FOXP2 mungkin telah bermutasi
membuat manusa dapat berkomunikasi.[diragukan – diskusikan] Namun, penelitian
genetik terbaru memperlihatkan bahwa Neandertal berbagi FOXP2 dengan H.
sapiens. Oleh sebab itu ia tidak memiliki mutasi yang unik denganH.
sapiens. Malahan, ia mengindikasikan bahwa perubahan genetik mendahului
Neandertal -- H. sapiens terpisah.
Masih banyak debat
tentang apakah bahasa berkembang secara bertahap selama ribuan tahun atau
muncul secara langsung.
Area Broca dan
Wernicke pada otak primata juga muncul di otak manusia, area pertama yang ikut
serta dalam banyak pekerjaan kognitif dan persepsi, yang berakhir pada
kemampuan berbahasa. Sirkuit yang sama pada otak primata, sistem stem dan
limbic, mengatur suara non-verbal pada manusia (tertawa, menangis, dll), yang
menyatakan bahwa pusat bahasa manusia adalah modifikasi sirkuit neural yang
umum pada semua primata. Modifikasi dan skil untuk komunikasi linguis ini
tampak sangat unik pada manusia, yang menyiratkan bahwa organ bahasa yang
diturunkan setelah garis keturunan manusia terpisah dari garis keturunan
primata (simpanse dan bonobo). Secara jelas menyatakan, bahasa kata adalah
modifikasi dari laring yang unik pada manusia.
Menurut hipotesis Asal-usul dari Afrika,
sekitar 50.000 tahun lalu sekelompok manusia meninggalkan Afrika dan
berlanjut mendiami hampir sebagian dari bumi, termasuk Australia dan Amerika,
yang mana belum pernah dihuni oleh hominid kuno. Beberapa ilmuwan percaya
bahwa Homo sapiens tidak meninggalkan Afrika sebelum itu, karena
mereka belum memiliki kesadaran dan bahasa modern, dan makanya tidak memiliki
kemampuan atau jumlah yang dibutuhkan untuk migrasi. Walaupun demikian, adanya
fakta bahwa Homo erectus berhasil meninggalkan benua lebih
awal (tanpa kemampuan yang luas dari bahasa, peralatan yang memadai, atau
anatomi yang modern), alasan kenapa anatomi manusia modern masih berada di
Afrika untuk waktu yang lama masih belum jelas.
Skenario
Biologis pada evolusi bahasa
Informasi lebih lanjut: Evolusi linguistik
Semua manusia
memiliki bahasa. Ini termasuk populasi, seperti Penduduk Asli Tasmania dan Andaman, yang telah
terisolasi selama 40.000 tahun lebih.
Linguistik monogenesis adalah
hipotesis bahwa ada sebuah proto-bahasa, terkadang disebut proto-manusia, dan
dari situ semua vokal pada bahasa diturunkan. (hal ini tidak berlaku pada bahasa
isyarat, yang diketahui muncul secara tersendiri bukan secara
berkelanjutan.) Jika asumsi tentang bahasa "proto-manusia" diterima,
perkiraan waktunya mungkin sekitar 200.000 tahun lalu (zaman Homo
sapiens) dan 50.000 tahun lalu (zaman perilaku modernitas).[rujukan?]
Usaha ilmiah
serius yang pertama untuk mencoba menetapkan realitas dari monogenesis adalah
dari Alfredo Trombetti, dalam
bukunya L'unità d'origine del linguaggio, diterbitkan tahun 1905 (cf.
Ruhlen 1994:263). Trombetti memperkirakan bahwa leluhur bersama bahasa-bahasa
yang ada sekarang telah dituturkan antara 100.000 dan 200.000 tahun lalu
(1922:315).
Monogenesis
ditolak oleh banyak ahli bahasa pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, saat
doktrin poligenesis ras
manusia dan bahasa mereka mendapatkan
pengaruh (misalnya Saussure 1986/1916:190).
Pendukung terbaik
dari monogenesis di Amerika pada pertengahan abad ke-20 adalah Morris Swadesh (cf.
Ruhlen 1994:215). Dia mempelopori dua metode penting untuk menginvestigasi
hubungan mendalam antara bahasa-bahasa, leksikostatistik dan glotokronologi.
Hipotesis multiregional mengharuskan
bahwa bahasa modern berkembang secara tersendiri di semua benua, sebuah dalil
yang dianggap masuk akal oleh pendukung monogenesis. Berdasarkan hipotesis
tersebut, manusia pertama muncul pada awal Pleistosen dua
juta tahun lalu dan evolusi
manusia berikutnya telah terjadi dalam spesies manusia tunggal
dan berkelanjutan. Spesies ini mengikutkan wujud-wujud manusia
purba seperti Homo erectus dan Neanderthal dan
juga wujud modernnya, dan berevolusi ke seluruh dunia sampai ke beragam populasi
dari Homo sapiens sapiens modern. Teori ini
berpendapat bahwa manusia berevolusi lewat suatu kombinasi adaptasi dalam
berbagai wilayah dunia dan aliran gen antara wilayah-wilayah tersebut.
Pendukung dari asal mula multiregional menunjuk padafosil dan
data genomik dan
kontinuitas dari kultur-kultur arkeologis sebagai pendukung hipotesis mereka.
Fondasi
Biologis dari bahasa manusia
Descended laring dikenal
sebagai struktur unik pada sistem vokal manusia dan penting sekali dalam
perkembangan bicara dan bahasa. Namun, ia juga telah ditemukan di spesies lainnya,
termasuk mamalia laut dan rusa besar (contohnya:Red Deer), dan laring diobservasi
telah diwarisi selama vokalisasi pada anjing, kambing,
dan buaya.
Pada manusia, descended laring menyebabkan panjangnya sistem vokal dan
mengembangkan jenis-jenis suara manusia yang dapat dikeluarkan. Beberapa
ilmuwan mengklaim bahwa adanya komunikasi non-verbal pada manusia sebagai bukti
dari descended laring bukan bagian esensial terhadap perkembangan bahasa.
Descended laring
memiliki fungsi selain linguistik juga, mungkin terlalu membesar-besarkan
ukuran yang terlihat pada binatang (lewat vokalisasi yang rendah dari nada yang
diharapkan). Karenanya, walaupun memainkan peranan penting dalam menghasilkan
suara, memperluas keberagaman suara yang dapat dihasilkan manusia, ia mungkin
tidak berkembang secara khusus untuk tujuan tersebut, seperti yang disarankan
oleh Jeffrey Laitman, dan oleh
Hauser, Chomsky, dan Fitch (2002), bisa saja merupakan contoh dari praadaptasi.
Kemampuan
mengkontrol lidah manusia juga harus diperhitungkan. Sebagai akibat dari
meningkatnya intelegensi, otak manusia dapat mengkontrol organ dan
sekelilingnya secara lebih tepat. Oleh karena itu, lidah lebih kreatif dalam
meliukkan, menggabungkan, menghentikan dan mengeluarkan getar suara yang
dihasilkan oleh laring.
Sejarah
Dalam agama dan mitologi

Pencarian terhadap
asal mula bahasa memiliki sejarah yang panjang dan berakar dari mitologi.
Kebanyakan mitologi tidak menganggap manusia sebagai penemu bahasa, tetapi
menganggapnya sebagai ucapanilahi mendahului bahasa manusia. Bahasa mistik
digunakan untuk berkomunikasi dengan binatang atau roh, seperti bahasa
burung, juga banyak, dan cukup menarik pada masa Renaisans.
Vāc adalah dewi bahasa di, atau
"penjelmaan perkataan". Sebagai "pengucapan yang
suci" brahman,
dia memiliki peran kosmologis sebagai "Ibu dari Veda". Berdasarkan
kisah Aztek,
hanya seorang laki-laki,Coxcox, dan seorang wanita, Xochiquetzal, yang bertahan,
dari mengapung di atas potongan kulit pohon. Mereka terdampar di sebuah daratan
dan melahirkan banyak anak yang saat pertama kali lahir tidak bisa berbicara,
tapi selanjutnya, saat datangnya sebuah merpati yang
diberkahi dengan bahasa, walaupun masing-masing dari mereka diberikan bahasa
yang berbeda supaya mereka tidak bisa memahami satu sama lain.
Sumber-sumber
mistisisme seperti itu bisa dipahami telah berkembang bersamaan dengan
pemikiran bahwa nasib seseorang terikat dengan keinginan dewa/tuhan, alam, dll.
Dalam sejarah, bahasa dianggap sebagai sesuatu yang diwariskan secara ilahi
sama seperti tanaman (misalnya, padi) yang dianugrahkan oleh dewa kebajikan dan
alam. Saat misteri tentang bagaimana tanaman tumbuh hilang seiring dengan
berkembangnya teknologi, begitu juga dengan pemikiran tentang bahasa yang
diturukan secara ilahi juga akan lambat laun menghilang.
Percobaan Historis
Artikel utama
untuk bagian ini adalah: Percobaan
menghilangkan bahasa
Sejarah memiliki
sejumlah anekdot tentang
orang yang mencoba menemukan asal mula bahasa dengan bereksperimen. Kisah
pertama diceritakan oleh Herodotus (Sejarah 2.2). Ia mengatakan bahwa Firaun
Psammetichus (mungkin Psammetichus I, dari abad
ke 7) memiliki dua anak yang dibesarkan oleh seorang penggembala, dengan
instruksi bahwa tidak ada yang boleh berbicara dengan mereka, tapi si
penggembala harus memberi makan dan menjaga mereka sementara mendengarkan kata
pertama mereka. Saat salah satu anak menangiskan kata "bekos" dengan
tangan yang terulur. Si penggembala mengasumsikan bahwa kata tersebut adalah
bahasa Frigia karena seperti itulah bahasa Frigia untuk
kata roti. Dari hal tersebut Psammetichus menyimpulkan bahwa bahasa
pertama adalah Frigia. Raja James V dari
Skotlandia dikatakan melakukan percobaan yang sama: anaknya dikatakan
berbicara bahasa Ibrani. Dua raja pada abad
pertengahan Frederick II dan Akbar dikatakan
melakukan percobaan yang sama; anak yang ikut dalam percobaan tersebut tidak
berbicara.
Sejarah
penelitian
Artikel utama
untuk bagian ini adalah: Evolusi linguistik
Akhir abad ke-18
sampai awal abad ke-19 ilmuwan Eropa mengasumsikan bahwa bahasa di dunia
merefleksikan bermacam tingkatan perkembangan dari primitif sampai ucapan
tingkat lanjut, mencapai puncaknya pada rumpun bahasa Indo-Eropa, dianggap sebagai
yang paling berkembang.[rujukan?]
Linguistik modern
tidak muncul sampai akhir abad 18, dan tesis Romantis atau animisme dari Johann Gottfried Herder dan Johann Christoph
Adelung masih berpengaruh sampai abad 19. Pertanyaan mengenai asal
mula bahasa tampak tidak dapat dimasuki pendekatan metodis, dan pada tahun
1866 Linguistic Society of Paris secara
terkenal melarang semua diskusi mengenai asal mula bahasa, menganggapnya
sebagai masalah yang tidak terjawab. Meningkatnya pendekatan sistematik
terhadap sejarah linguistik berkembang
pada abad 19, mencapai puncaknya pada ajaran Junggrammatiker dari Karl Brugmann dan
lainnya.
Walaupun begitu,
ketertarikan ilmuwan terhadap pertanyaan dari asal mula bahasa secara
berangsur-angsur hidup kembali sejak tahun 1950-an (dan secara kontroversial)
dengan ide-ide seperti tata bahasa universal, Perbandingan massa dan glotokronologi.
"Asal mula
bahasa" sebagai subjek tersendiri muncul dari pembelajaran dalam neurolinguistik, psikolinguistik dan evolusi
manusia. Linguistic
Bibliography memperkenalkan "Origin of language" (asal mula
bahasa) sebagai topik terpisah pada tahun 1988, sebagai sub-topik dari
psikolinguistik. Institut penelitian khusus terhadap evolusi linguistik adalah
fenomena baru, muncul sejak tahun 1990-an.
referensi :
http://id.wikipedia.org/wiki/Asal_mula_bahasa#Pendekatan-pendekatan
Allott, Robin (1989). The Motor Theory of Language Origin. Sussex, England: Book Guild. ISBN 0-86332-359-6
Botha, R. and C. Knight (2009). The Prehistory of Language. Oxford: Oxford University Press. ISBN 978-0-19-954587-2
Botha, R and C. Knight (2009). The Cradle of Language. Oxford: Oxford University Press. ISBN 978-0-19-954585-8.
Cangelosi, A., A. Greco, and Harnad, S. (2002) "Symbol grounding and the symbolic theft
hypothesis." Simulating the Evolution of Language, edited by A. Cangelosi and D. Parisi. London: Springer.
Crystal, David (1997). The Cambridge Encyclopedia of Language. Cambridge: Cambridge University Press. ISBN 0-521-55967-7.
Dawkins, Richard. 2004. The Ancestor's Tale: A Pilgrimage to the Dawn of Life. London: Weidenfeld and Nicolson.
Deacon, Terrence William (1997). The Symbolic Species: The Co-evolution of Language and the Brain. New York: W.W. Norton. ISBN 0-393-03838-6.
Dunbar, R.I.M. (1996). Grooming, Gossip and the Evolution of Language. London: Faber and Faber. ISBN 0-571-17396-9.
Ginzburg, Carlo (1984). "Morelli, Freud, and Sherlock Holmes: Clues and Scientific Method". In Eco, Umberto; Sebeok, Thomas. The Sign of Three: Dupin, Holmes, Peirce. Bloomington, IN:
History Workshop, Indiana University Press. hlm. 81–118. ISBN 978-0-253-35235-4. Ginzburg menyadari bahwa paradigma membaca kejadian di masa lalu lewat tanda-tandanya di masa sekarang bermula dari praktik primitif dari para pelacak.
Givón, T. (2002). "The evolution of language out of pre-language." Typological studies in language 53. Amsterdam: John Benjamins. ISBN 1-58811-237-3.
Harnad, S.R., J. B. Lancaster, and H.D. Steklis (1976)(Eds). Origins and Evolution of Language and Speech. New York: New York Academy of Sciences. ISBN 0-89072-026-6.
Hauser, Marc D.; Chomsky, Noam; Fitch, W. Tecumseh (2002). "The faculty of language: What is it, who has it, and how did it evolve?". Science 298 (5598): 1569–1579. doi:10.1126/science.298.5598.1569. PMID 12446899.
Hurford, James R. (1990). "Nativist and functional explanations in language acquisition." Logical Issues in Language Acquisition, edited by I.M. Roca, 85–136. Dordrecht: Foris. ISBN 90-6765-506-6.
Kenneally, Christine (2007). The First Word: The Search for the Origins of Language. New York: Viking.
Knight, C., M. Studdert-Kennedy and J. R. Hurford (eds), 2000. The Evolutionary Emergence of Language. Cambridge: Cambridge University Press.
Knight, C., and C. Power (2011). Social conditions for the evolutionary emergence of language. In M. Tallerman and K. Gibson (eds), Handbook of Language Evolution. Oxford: Oxford University Press, pp. 346-49.
Komarova, N.L. (2007). "Language and mathematics: An evolutionary model of grammatical communication." History & Mathematics, edited by Leonid Grinin, Victor C. de Munck, and Andrey Korotayev, 164–179. Moscow: KomKniga/URSS. ISBN 978-5-484-01001-1.
Laitman, J.T. and Reidenberg, J.S. (2009) The evolution of the human larynx: Nature’s great experiment. In: Fried M.P., Ferlito, A. eds. The Larynx, 3rd ed., Plural, San Diego, 19-38.
Pinker, Steven (2000). The Language Instinct: How the Mind Creates Language. New York: Harper Perennial Modern Classics. ISBN 0-06-095833-2.
Perreault, C. and S. Mathew, 2012. Dating the origin of language using phonemic diversity. "PLoS ONE" 7(4) e35289. DOI:10.1371/journal.pone.0035289.
Pollick, Amy. S and Frans B.M. de Waal (2007). "Ape gestures and language evolution." [1] Proceedings of the National Academy of Sciences 104.19, 8184–8189. (Also: Popular summary by Liz Williams, "Human language born from ape gestures", Cosmos, May 1, 2007.)
Saussure, Ferdinand de (1986). Course in General Linguistics, translated by Roy Harris. Chicago: Open Court. (English translation of 1972 edition of Cours de linguistique générale, originally published in 1916.)
Vajda, Edward. "The origin of language."